Nyanyian Rindu Si Gubuk Tua
“Cil lihat lah! Mentari pagi tak mau menampakkan wajahnya. Seolah malu menatap kita. Sinarnya yang selama ini membasuh jiwaku kini telah hanyut di telan mimpi”. “ iyaa..po, matahari sepertinyatelah di telan bumi”.
“ cil tak kah kau lihat burung-burung menangis mengisi kegundahan alam ini”.
“ iyaa.. manusia kini pun telah menjadi momok alam ini,” tangkis kancil.
Kancil mencuri pandang kekanan dan kekiri, terlihat lah si hitam. “ tam mengapa kau muram durja, lihat lah matamu lah hitam berpacu dengan tubuhmu.
Coba kau tengok keatas lihat awan-awan itu berlari riang gembira”. “ hatiku telah hancur cil, dulu aku sebagai permata kaki mereka, sekarang aku telah tua renta, bolong disana-sini, mereka tak mengenal jasaku lagi mencampakkan aku bagaikan kotoran yang hina. Coba lihat gitar butut itu, hatinya gundah gulana haus akan petikan jemari majikannya. Tak kau dengarkah raungan air laut disebrang sana, dia menjerit seolah murka karena manusia membuang teman-teman kami disana”.
“ ohh… sungguh kejam perangai manusia.
Matahari pun terus berlari seolah berlomba-lomba dengan awan menutup pagi. Kancil pun terus berjalan menginjakkan bumi yang terus menjerit inginkan keadilan. Suatu ketika langkahnya terhenti, sayup-sayup angina berbisik, dengarkan suara itu, suara nyanyian rindu si gubuk tuamyang
memekakkan telingaku.
Terlihat di pelupuk mata kancil si gubuk tua sedang menanti keajaiban. Kancil pun berlari bersama angin menuju gubuk tua itu. Tak begitu lama dia pun sampai. “ hai gubuk tua mengapa engkau bernyanyi, lihat lah tubuhmu sudah goyah karena nyanyianmu”.
“ aku bersedih nyanyianku ini tak bisa didengar manusia, sudah setengah abad aku menanti, lihatlah tubuhku telah menjamur, aku inginkan dunia ini kembali seperti dulu lihatlah bunga-bunga di depan itu mereka menangis menanti siraman rohani dari alam ini
Lihat lah dedaunan itu mereka merajam kesenjaan yang telah lama dinanti, ingin rasanya aku bernyanyi, bersyair, dan berpuisi untuk alam ini.
Taukah engkau siapa yang berada di balik selimut itu….
Matahari berani menampakkan wajahnya seolah menantang sibatu tangis….
Pohon-pohon oun terus menangis dan merajam....
Ingin rasanya air mata membasahi tubuhnya….
Tanah-tanah berteriakan ingin bumi hanguskan penderitaan….
Batu tangis melihat kekanan dan kekiri….
Tak ada daya rasa ingin memaki….
Memaki kesenjaan yang telah lama tak berhenti….
Terlihat di ujung sana….
Neraka kesedihan telah mencakar langit….
Mengalahkan si raja langit…..
Sampah-sampah berlarian seolah inginkan kebebasan….
Air laut pun terdiam….
Seolah tak berani menunjukkan wajahnya….
Karang pun marah….
Inginkan surga yang selalu membayanginya….
“ohh….sungguh besar harapanmu, tapi apa daya kita yang hanya bisa menunggu keajaiban merebahkan sayapnya.
Karya: Riki Kurniawan
0 komentar:
Posting Komentar